Tata cara sholat sebagaimana diajarkan oleh Nabi Shollallaahu 'alaih wa sallam, yang mana tata cara ini sudah umum dilakukan oleh kaum Ahlussunnah Wal Jama'ah.


Oleh: Haji Moh. Ridwan 

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ


TATA CARA SHOLAT SEBAGAIMANA DIAJARKAN NABI SHOLLALLAAHU ‘ALAIHI WA SALLAM 


[Catatan Penting: Fasal-fasal yang kami jelaskan kali ini adalah penjelasan tentang tata cara sholat sebagaimana diajarkan oleh Nabi Shollallaahu 'alaih wa sallam, yang mana tata cara ini sudah umum dilakukan oleh kaum Ahlussunnah Wal Jama'ah. Dan bukan Pembahasan Mengenai Tata Cara Sholat Menurut Nashiruddin al-Albani]
Sholat merupakan salah satu bentuk ibadah yang diwajibkan Allah Ta’aala kepada seluruh ummat Islam. Seorang muslim yang melaksanakan sholat dengan istiqamah, menjaga kekhusyu’an dan ikhlas untuk menyembah dan mengharap ridho-Nya akan merasakan betapa besar faidah dan fadhilah sholat baginya.
Sholat juga merupakan sebuah ibadah yang tata caranya sudah ditentukan dan dicontohkan oleh Rasulullaah Shollallaahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullaah Shollallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

صلوا كما رأيتموني أصلي

Sholatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku sholat. (HR. Bukhari)
Oleh sebab itulah, setiap muslim  harus tahu bagaimana tata cara sholat sebagaimana Rasulullaah Shollallaahu ‘alaihi wa sallam sholat. Dan inilah penjelasannya.
1. Berdiri Menghadap Kiblat
Sholat diawali dengan berdiri menghadap kiblat bagi orang yang mampu. Jika tidak mampu dapat dilakukan dengan cara duduk atau tidur miring, sebagaimana sabda Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam:
 
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdan dari ‘Abdullah dari Ibrahim bin Thohman berkata, telah menceritakan kepada saya al-Husain al-Muktib dari Abu Buraidah dari Imran ibn Hushain Radhiyallaahu ‘anhu ia berkata: Pada saat aku terkena penyakit bawasir, aku bertanya kepada Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam tentang caraku mengerjakan sholat. Maka Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sholatlah dengan cara berdiri, jika tidak mampu maka duduk, dan bila tidak mampu maka tidur miring.” (Shahih al-Bukhari, hadits no. 1050)
Hukum berdiri di dalam melaksanakan sholat fardhu adalah wajib. Sementara pada sholat sunnah, hukumnya adalah sunnah. Di dalam sebuah hadits shahih disebutkan:
Telah menceritakan kepada kami Abu Ma’mar, ia berkata: telah menceritakan kepada kami Abdul Warits, ia berkata: telah menceritakan kepada kami Husain al-Mu’allim dari Abdullah ibn Buraidah bahwa ‘Imran ibn Hushain Radhiyallaahu ‘anhu adalah seorang yang pernah menderita sakit wasir. Dan suatu ketika Abu Ma’mar berkata, dari Hushain yang berkata: Aku pernah bertanya kepada Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam perihal seseorang yang melaksanakan sholat dengan duduk. Maka Beliau Shollallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Siapa yang sholat dengan berdiri maka itu lebih utama. Dan siapa yang melaksanakan sholat dengan duduk maka baginya setengah pahala dari orang yang sholat dengan berdiri dan siapa yang sholat dengan  dengan tidur (berbaring) maka baginya setengah pahala orang yang sholat dengan duduk.” Berkata Abu Abdullah: “Menurutku yang dimaksud dengan tidur adalah berbaring.” (Shahih al-Bukhari, hadits no. 1049)
Tata cara berdiri adalah kedua kaki diluruskan. Antara ujung keduanya direnggangkan sekira satu jengkal, dan diantara kedua tumit sekira empat jari. Wajah ditundukkan memandang ke arah tempat sujud. Kemudian membaca surat an-Naas sebagai permohonan kepada Allah Ta’aala agar dijauhkan dari godaan syaithan. Di sebutkan di dalam kitab Bidayah al-Hidayah karya al-Imam al-Ghazali Rahimahullaahu Ta’aala:
“Hendaklah berdiri menghadap kiblat seraya meluruskan dua kaki dan tidak merapatkannya. Berdiri dengan tegak kemudian membaca surah an-Naas sebagai permohonan agar dijaga dari godaan syaithan yang terkutuk.” (Bidayatu al-Hidayah halaman 44)
Setelah itu disunnahkan melafadzkan niat dengan tujuan untuk membantu menghadirkan niat di dalam hati. Dalam hal ini Syaikh Muhammad bin Umar an-Nawawi al-Bantani di dalam kitab Kasyifatu as-Saja Syarh Safinatu an-Najah pada sub bab yang menyebutkan rukun-rukun Sholat, beliau menjelaskan:
“Adapun yang pertama adalah niat di dalam hati. Tidak wajib diucapkan dengan lisan. Akan tetapi mengucapkan niat hukumnya adalah sunnah untuk membantu hati melafadzkan niat.” (Kasyifatu as-Saja Syarh Safinah an-Najah halaman 65)
 Dalam beberapa kesempatan, Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam pernah melafadzkan niat, misalnya dalam ibadah Haji. Dijelaskan dalam sebuah hadits:
Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya telah mengabarkan kepada kami Husyaim dari yahya bin Abu Ishaq dan Abdul Aziz bin Shuhaib dan Humaid bahwa mereka mendengar dari Shahabat Anas Radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata: Saya mendengar Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan, “Ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu untuk umrah dan haji.” (Shahih Muslim No. 2194)
Konteks hadits diatas berbicara dalam persoalan haji. Akan tetapi sholat dapat di-qiyas-kan kepada haji. Jika ketika melaksanakan ibadah haji sunnah melafadzkan niat, maka dalam sholat juga demikian, dianjurkan melafadzkan niat dengan tujuan membantu hati agar juga dapat melafadzkan niat.
Lebih jelas lagi ditegaskan oleh Syaich Hasan ibn ‘Ali as-Saqafi sebagai berikut:
“Melafadzkan niat ketika hendak bertakbiratul-ihram adalah sunnah. Pada saat Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seluruh amal perbuatan bergantung kepada niat”, Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah bersabda, “Keraskanlah (lafadzkanlah) niatmu”. Oleh karena itu, orang yang menghadirkan niat di dalam hatinya dan tidak diucapkan, maka sah sholatnya. Demikian pula jika ia mengucapkan dengan lisannya, sholatnya juga sah dan ia telah melaksanakan perbuatan sunnah. Hal yang demikian ini sangat berbeda dengan pendapat segelintir orang yang mengatakan bahwa perbuatan tersebut adalah bid’ah yang tercela. Bagaimana mungkin melafadzkan niat menjadi bid’ah sedangkan di dalam beberapa ibadah yang lain Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam justru melakukannya (melafadzkan niat), misalnya pada saat Beliau Shollallaahu ‘alaihi wa sallam memperdengarkan kepada orang banyak di waktu melaksanakan ihram untuk haji, yakni ucapan Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam: “Labbaika bi ‘umratin wa hajjin” (Yaa Allah, aku penuhi panggilan-Mu untuk ‘umrah dan haji). Begitu pula ketika pada suatu saat Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam menemui sayyidah ‘Aisyah Radhiyallaahu ‘anhaa untuk makan pagi. Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apakah ada makanan?” ‘Aisyah Radhiyallaahu ‘anhaa menjawab “Tidak ada”. Kemudian Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan, “Kalau begitu aku akan berpuasa”. (Shahih Sifat Shalat an-Nabi halaman 68)
2. Takbiratul Ihram
Setelah melafadzkan niat, segera mengucapkan takbiratul-ihram. Disebut takbiratul-ihram karena dengan takbir tersebut, dapat mengharamkan semua perbuatan yang sebelumnya boleh dilakukan, misalnya berbicara, makan, minum, bergerak yang banyak dan sebagainya.
Pada saat mengucapkan takbiratul-ihram, niat sholat disertakan di dalam hati. Inilah niat yang sesungguhnya di dalam sholat. Artinya jika seseorang berniat sebelum takbiratul-ihram maka sholatnya tidak sah, begitu pula jika berniat sesudah takbiratul-ihram.
Di dalam kitab Kasyifatu as-Saja Syarh Safinatu an-Najah disebutkan:
“Dan wajib menyertakan niat dengan takbiratul ihram, karena hal itu adalah kewajiban pertama yang dilaksanakan dalam sholat.” (Kasyifat as-Saja halaman 65)
Adanya kewajiban niat ini berdasarkan sabda Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam:
Telah menceritakan kepada kami Abdullah ibn Maslamah ia berkata, telah mengabarkan kepada kami Malik dari Yahya bin Sa’id dari Muhammad ibn Ibrahim dari Alqamah ibn Waqash dari Umar ibn Khatthab Radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata: “Saya mendengar Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wa sallam bersada, “Seluruh amal perbuatan tergantung kepada niatnya. Dan setiap orang akan memperoleh apa yang ia niatkan. Barangsiapa niat hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya adalah kepada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa niat hijrahnya karena dunia yang ingin ia peroleh atau karena seorang perempuan yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya adalah kepada apa yang ia diniatkan.” (Shahih al-Bukhari hadits no. 52)
Ketika melaksanakan takbiratul-ihram, disunnahkan mengangkat tangan hingga lurus dengan pundak. Sementara jari-jari tangan diluruskan dan tanpa menggenggam telapak tangan. Di dalam kitab Bidayah al-Hidayah dijelaskan:
“Angkatlah kedua tanganmu ketika takbiratul-ihram sampai lurus pada kedua pundakmu setelah sebelumnya tegak lurus  ke bawah. Kedua tangan dibentangkan dan jari-jarinya diluruskan, tidak terlalu dirapatkan atau direnggangkan. Caranya adalah tangan diangkat hingga dua jempol bertemu dengan dua daun telinga, dan jari telunjuk berada di atas dua telinga dan telapak tangan berada di atas kedua pundak.” (Bidayah al-Hidayah halaman 45)
Hal ini juga dilaksanakan ketika akan ruku’, I’tidal dan berdiri dari tasyahud awal. Didasarkan pada hadits shahih riwayat Abdullah ibn Umar Radhiyallaahu ‘anhu:
Telah menceritakan kepada kami Abu al-Yaman ia berkata, telah mengabarkan kepada kami Syu’aib dari az-Zuhri ia berkata, telah mengabarkan kepada kami Salim bin ‘Abdillah Radhiyallaahu ‘anhu, sesungguhnya Abdillah ibn Umar berkata: “Saya melihat Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam memulai sholat dengan takbiratul-ihram seraya mengangkat kedua tangannya hingga lurus pada kedua pundaknya. Hal itu dilakukan juga pada saat takbir untuk ruku’. Dan melakukannya ketika mengucapkan “sami’allaahu liman hamidah”, kemudian membaca “robanaa lakal-hamdu”. Tetapi Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam tidak mengangkat kedua tangannya ketika akan sujud dan berdiri dari sujud.” (Shahih al-Bukhari, hadits no. 696)
Insya’ Allah bersambung…