Piara anak yatim dan santuni fakir miskin dari keluarga sendiri dan tetangga dekat.

Oleh: Haji Moh. Ridwan 

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

DALIL-DALIL PERINTAH MENYANTUNI ANAK YATIM
Islamyatim1 sebagai agama yang paling sempurna telah banyak mengajarkan kepada para pemeluknya banyak kebaikan agar mereka dapat mendekati dan mengerjakannya. Dan begitu juga telah memaparkan banyak keburukan supaya mereka dapat menjauhi dan meninggalkannya.
Karena tidaklah sesuatu yang Allah ta’ala dan Rosul-Nya Shallallahu alaihi wa sallam ajarkan suatu kebaikan melainkan di dalamnya terdapat banyak kebaikan bagi yang mengamalkanya dan terdapat keburukan bagi yang meninggalkannya. Begitu juga tidaklah sesuatu keburukan yang Allah Azza wa Jalla dan Nabi-Nya Shallallahu alaihi wa sallam jelaskan dan larang bagi umatnya melainkan di dalamnya terdapat keburukan bagi yang masih mengamalkannya dan juga terdapat kebaikan bagi yang telah meninggalkannya.
Diantara perkara yang dianjurkan dan diperintahkan Allah Subhanahu wa ta’ala dan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam dalam ajaran Islam adalah memberikan manfaat bagi orang lain dalam hal kebaikan. Sedangkan kebaikan itu adalah hal-hal yang telah termaktub di dalam Alqur’an dan hadits-hadits yang shahih sebagaimana telah dijelaskan oleh para ulama salaf ash-Shalih.
Dari Jabir bin Abdullah radliyallahu anhu bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
خَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain”. [HR ad-Daruquthniy di dalam al-Afrad, ath-Thabraniy, Adl-Dliya’ al-Muqaddisiy dan al-Haitsamiy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: hasan].[1]
Orang yang paling banyak mengharap manfaat dan bantuan kebaikan dari orang lain di antaranya adalah anak-anak yatim, para janda, orang-orang fakir dan miskin dan yang semisal mereka.
Di dalam pembahasan singkat ini, hanya akan dibahas anjuran dan perintah ajaran Islam untuk berbuat baik, bersikap santun, menyayangi, membantu, memperhatikan dan menjamin kebutuhan anak-anak yatim saja.
SIAPAKAH ANAK YATIM ITU
                Seorang anak dikatakan yatim jika ayahnya yang selama ini menjadi tulang punggung keluarganya dalam mencari penghidupan selama ini telah wafat dan anak tersebut belum mencapai usia baligh.
Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah bahwa yatim itu ialah anak yang ditinggal mati ayahnya sebelum mencapai usia baliqh, baik laki-laki maupun perempuan. Adapun anak yang tinggal mati ibunya sebelum baliqh maka bukanlah anak yatim, tidak menurut bahasa apalagi menurut syariat. Sebab kata yatim terambil dari kata yatmu yang artinya terpisah dan sendiri. Maksudnya, terpisah dari orang yang mencarikan (penghidupan) buatnya. Sebab ayahnyalah yang mengusahakan (penghidupan) baginya. Hal semisal juga yang dikatakan oleh asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah. [2]
Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Yatim adalah seseorang yang telah wafat ayahnya sedangkan ia masih kecil dan belum mencapai usia baligh”. [3]
Dari Ali bin Abu Thalib radliyallahu anhu berkata, ‘Aku telah menghafal dari Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam,
            لَا يُتْمَ بَعْدَ احْتِلَامٍ وَ لَا صُمَاتَ يَوْمٍ إِلَى اللَّيْلِ
“Tidak disebut lagi anak yatim bila sudah bermimpi (baligh) dan tidak boleh berdiam (yaitu tidak berbicara) selama satu hari sampai menjelang malam”. [HR Abu Dawud: 2873. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [4]
            Jadi seseorang yang ditinggal wafat oleh ayahnya sedangkan ia telah mencapai usia baligh maka ia tidak disebut lagi sebagai anak yatim meskipun ia dalam keadaan hidup berkekurangan.
            Atau juga tidak disebut yatim seorang anak yang ditinggal wafat oleh ibunya dan ayahnya masih hidup. Sebab sebagaimana telah diketahui bahwa yang berkewajiban memenuhi kebutuhan hidup anak adalah ayahnya bukan ibunya.
            Begitu pula seorang anak tidak disebut yatim jika kedua orang tuanya bercerai lalu ia ikut dengan ibunya dan ditinggal kabur oleh ayahnya yang tidak bertanggung jawab tersebut. Karena pada kenyataannya ayahnya masih hidup namun tidak mau menjamin kehidupannya sebagaimana banyak terjadi di masyarakat.
PERINTAH BERBUAT BAIK KEPADA ANAK YATIM
Banyak dalil dari Alqur’an yang mulia dan hadits-hadits shahih yang menjelaskan perintah berbuat baik kepada anak-anak yatim. Bahkan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam sangat menjaga hak anak yatim dan kaum wanita, sebab mereka adalah termasuk dari kalangan kaum lemah yang harus dilindungi dan diperhatikan hak-hak mereka.
Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata, Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
اللَّهُمَّ إِنِّي أُحَرِّجُ حَقَّ الضَّعِيفَيْنِ الْيَتِيمِ وَالْمَرْأَةِ
“Ya Allah, sesungguhnya aku akan menetapkan sanksi atas hak dua orang yang lemah, yaitu hak anak yatim dan hak wanita”. [HR. Ahmad: II/ 439, Ibnu Majah: 3668, al-Hakim, Ibnu Hibban dan an-Nasa’iy di dalam as-Sunan al-Kubra. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan]. [5]
            Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Terdapat wasiat (untuk berbuat baik) kepada kaum dlu’afa (kaum lemah) yang tidak sanggup untuk berusaha dari kalangan kaum wanita dan anak-anak yatim dan tidak boleh pula merintangi mereka. Karena mereka senantiasa berlindung kepada Allah Subhanahu wa ta’ala dan bernaung dengan kekuatan-Nya. Maka barangsiapa yang merintangi mereka maka ia berhak mendapatkan dosa dan siksaan”. [6]
            Berkata asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah, “Semua hadits-hadits ini menunjukkan kandungan untuk bersikap lemah lembut kepada kaum dlu’afa, anak-anak yatim, anak-anak perempuan dan yang semisal mereka”. [7]
وَ اعْبُدُوا اللهَ وَ لَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَ بِاْلوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَ بِذِى اْلقُرْبَى وَ اْليَتَامَى وَ اْلمـَسَاكِينِ
Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin….”. [QS. an-Nisa/ 4: 36].
وَإِذْ أَخَذْنَا مِيثَاقَ بَنِى إِسْرَائِيلَ لَا تَعْبُدُونَ إِلَّا اللهَ وَ بِاْلوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَ ذِى اْلقُرْبَى وَ اْليَـَامَى وَ اْلمـَسَاكِينِ
“Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat kebaikanlah kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah sholat dan tunaikanlah zakat. Kemudian kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali sebahagian kecil daripada kamu, dan kamu selalu berpaling”.[QS al-Baqarah/ 2: 83].
Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “Disyariatkannya untuk mengingatkan manusia dan menashihati mereka dengan sesuatu yang dapat menyebabkan mereka mendapatkan hidayah. Wajibnya mengibadahi Allah dan mentauhidkan-Nya. Wajibnya berbuat baik kepada kedua orang tua, kerabat, anak-anak yatim dan orang-orang miskin”. [8]
ANJURAN MEMBERI MAKAN DAN KEBUTUHAN KEPADA ANAK YATIM
وَ يُطْعِمُونَ الطَّعَامَ عَلَى حُبِّهِ مِسْكِينًا وَ يَتِيمًا وَ أَسِيرًا
“Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan”. [QS al-Insan/ 76: 8].
Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “Terdapat targhib (motivasi) untuk memberi makanan kepada orang-orang yang membutuhkannya dari orang fakir, anak yatim dan tawanan”. [9]
وَ مَا أَدْرَاكَ مَا اْلعَقَبَةُ فَكُّ رَقَبَةٍ أَوْ إِطْعَامٌ فِى يَوْمٍ ذِى مَسْغَبَةٍ يَتِيمًا ذَا مَقْرَبَةٍ أَوْ مِسْكَينًا ذَا مَتْرَبَةٍ
“Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? (yaitu) membebaskan budak, atau memberi makan pada hari kelaparan, (kepada) anak yatim yang ada hubungan kerabat, atau orang miskin yang sangat fakir”. [QS al-Balad/ 90: 12-15].
Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “Memberi makan pada hari kelaparan yaitu kepada anak yatim yang memiliki kekerabatan atau kepada orang miskin yang sangat fakir yaitu yang dekat tempatnya karena kebutuhannya dan sangat fakirnya”. [10]
لَيْسَ اْلبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ اْلمـَشْرِقِ وَ اْلمـَغْرِبِ وَ لَكِنَّ اْلبِرَّ مَنْ ءَامَنَ بِاللهِ وَ اْليَوْمِ اْلأَخِرِ وَ اْلمـَلَائِكَةِ وَ اْلكِتَابِ وَ النَّبِيِّينَ وَ ءَاتَى اْلمـَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِى اْلقُرْبَى وَ اْليَتَامَى وَ اْلمـَسَاكِينَ
Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin”. [QS al-Baqarah/ 2:177].
Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “Terdapat penjelasan akan sasaran berinfak yang diharapkan mendapatkan pahala pada hari kiamat adalah kepada karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan seterusnya”. [11]
يَسْأَلُونَكَ مَا ذَا يُنفِقُونَ قُلْ مَا أَنفَقْتُمْ مِنْ خَيْرٍ فَلِلْوَالِدَيْنِ وَ اْلأَقْرَبِينَ وَ اْليَتَامَى وَ اْلمـَسَكِينِ وَ ابْنِ السَّبِيلِ
 “Mereka bertanya tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah, “Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, …”. [QS al-Baqarah/ 2: 215].
Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “Terdapat keutamaan berinfak kepada orang-orang yang disebutkan di dalam ayat (yaitu kepada kedua orang tua, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang yang dalam perjalanan), jika orang yang berinfak itu adalah orang kaya dan mereka adalah orang-orang fakir lagi membutuhkan (bantuan)”. [12]
Beberapa dalil Alqur’an beserta penjelasannya di atas menerangkan akan perintah Allah Subhanahu wa ta’ala untuk senantiasa memperhatikan dan membantu anak-anak yatim dengan menyediakan infak atau sedekah untuk memenuhi kebutuhan makan, minum, pakaian dan pendidikan mereka. Terutama anak-anak yatim dari hubungan kekerabatan dengannya, apakah mereka itu anak dari kakak atau adiknya yang lelaki ataupun perempuan, atau anak-anak dari kerabat lainnya.
Bahkan tidak hanya cukup dengan memenuhi kebutuhan mereka tetapi juga dengan mencurahkan kasih sayang kepada mereka. Hal itu dengan cara memeluk mereka, mengucapkan kata-kata yang lembut kepada mereka, mengusap kepala mereka dengan rasa kasih sayang, mengajarkan dan mendidik mereka dengan ajaran-ajaran Islam yang shahih dan lain sebagainya.
Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu, bahwasanya ada seseorang pernah mengadukan kepada Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam akan kekerasan hatinya. Maka Beliau bersabda kepadanya,
      إِنْ أَرَدْتَ تَلْيِيْنَ قَلْبِكَ فَأَطْعِمِ اْلمـِسْكِيْنَ وَ امْسَحْ رَأْسَ اْليَتِيْمِ
            “Jika kamu ingin melembutkan hatimu maka berilah makan kepada orang miskin dan usaplah kepala anak yatim”. [HR Ahmad: II/ 263, 387 dan ath-Thabraniy di dalam Mukhtashor Makarim al-Akhlaq. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan][13]   
Dari Muhammad bin Wasi’ al-Azdiy bahwasanya Abu ad-Darda’ radliyallahu anhu pernah menulis surat kepada Salman al-Farisiy radliyallahu anhu, “Wahai saudaraku mendekatlah kepada anak yatim, usaplah kepalanya dan berilah ia makan dari makananmu, karena sesungguhnya aku pernah mendengar Rosululluh Shallallahu bersabda ketika ada seseorang mengadu kepada Beliau akan kekerasan hatinya. Lalu beliau bersabda,
      أَدْنِ اْليَتِيْمَ وَ امْسَحْ رَأْسَهُ وَ أَطْعِمْهُ مِنْ طَعَامِكَ يَلِنْ  قَلْبُكَ وَ تُقْدَرْ عَلَى حَاجَتِكَ
            “Mendekatlah kepada anak yatim, usaplah kepalanya dan berilah ia makan dari makananmu niscaya hatimu akan lembut dan terpenuhi segala kebutuhanmu”. [HR al-Khara’ithiy di dalam Makarim al-Akhlaq dan Ibnu Asakir di dalam Tarikh Dimasyq. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan]. [14] 
Dalil hadits di atas menerangkan faidah bahwa memberi makan orang miskin dan memperhatikan kebutuhan anak yatim dengan mengusap kepalanya, berlemah lembut kepada mereka, mencukupi makan dan pakaiannya serta menanggung pendidikannya akan menyebabkan kelembutan hati bagi pelakunya dan dipenuhi segala kebutuhannya.
Bahkan jika ada seorang muslim yang menanggung dan menjamin kehidupan anak yatim dari memberi makan, pakaian, pendidikan dan selainnya maka kelak ia berada di dalam surga dan tinggal berdampingan dengan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam di dalamnya. Beliau mengangkat tangannya lalu mengangkat jemarinya dan berisyarat dengan jari telunjuk dan tengahnya serta memisahkan keduanya.
            Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam,
            كَافِلُ الْيَتِيمِ لَهُ أَوْ لِغَيْرِهِ أَنَا وَهُوَ كَهَاتَيْنِ فِي الْجَنَّةِ
                “Pemelihara anak yatim, baik dari kerabatnya atau orang lain, aku dan dia (kedudukannya) seperti dua jari ini di surga nanti.” Dan perawi, yaitu Malik bin Anas berisyarat dengan jari telunjuk dan jari tengahnya”. [HR Muslim: 2983 dan Ahmad: II/ 375. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [15]
Asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah berkata, “Makna (لَهُ أوْ لِغَيْرِهِ) adalah kerabatnya ataupun ajnabi (orang lain). Sedangkan (yang termasuk) kerabat di sini, ialah ibu sang anak yatim, kakeknya, saudara laki-lakinya ataupun pihak-pihak selain mereka yang memiliki kekerabatan dengannya. Wallahu a’lam”. [16]
Dari Sahl bin Sa’d radliyallahu anhu, Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
أنا وَ كَافِلُ اليَتِيْمِ في الجَنَّةِ هكَذَا
“Aku dan pemelihara anak yatim di surga nanti, kedudukannya seperti (dua jari) ini”. Dan Beliau memberikan isyarat dengan jari telunjuk dan jari tengahnya dan memisahkan keduanya”. [HR al-Bukhoriy: 5304, 6005, di dalam al-Adab al-Mufrad: 133, 135, Abu Dawud: 5150, at-Turmudziy: 1918 dan Ahmad: V/ 333. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [17]
Asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah berkata, “Terdapat dorongan di dalam memelihara anak yatim dan menjaga harta mereka. Yang demikian itu akan menyebabkan masuk ke dalam surga dan menemani para Nabi, para siddiqin, para syuhada dan kaum shalihin. Dan mereka itu adalah sebaik-baik teman (yang menyertai)”. [18]
MULIAKAN ANAK YATIM DAN TIDAK MERENDAHKANNYA
            Selain itu Islam melarang untuk bersikap buruk kepada anak-anak yatim. Apakah berupa merendahkan, menghinakan, mencaci, menghardik, memukul, bersikap sewenang-wenang dan selainnya dari berbagai perilaku buruk kepada mereka.
وَ وَجَدَكَ عَائِلًا فَأَغْنَى فَأَمَّا اْليَتِيمَ فَلَا تَقْهَرْ
“Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan. Sebab itu, terhadap anak yatim janganlah kamu berlaku sewenang-wenang”.
[QS Adl-Dluha/ 93:8-9].
Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Allah ta’ala berbicara kepada Nabi-Nya Shallallahu alaihi wa sallam, ‘Sebagaimana engkau (dahulunya seorang anak) yatim lalu Allah memberikanmu tempat (bernaung) maka janganlah engkau merendahkan anak yatim, menghardik dan menghinanya. Tetapi berbuat baik dan bersikap lemah lembutlah kepadanya. Sebagaimana engkau (dahulunya) seorang yang papa lagi fakir lalu Allah memberi kecukupan kepadamu maka janganlah engkau bersikap sewenang-wenang, sombong, melampaui batas dan bersikap kasar kepada kaum dlu’afa dari para hamba Allah. Tetapi tolaklah kaum fakir miskin itu dengan rasa kasih sayang dan lemah lembut”. [19]
أَرَأَيْتَ الَّذِى يُكَذِّبُ بِالدِّينِ فَذَلِكَ الَّذِى يَدُعُّ اْليَتِيمَ وَ لَا يَحُضُّ عَلَى طَعَامِ اْلمـِسْكِينِ
“Tahukah kamu orang yang mendustakan agama itulah orang yang menghardik anak yatim dan tidak memberi makan orang miskin”. [QS al-Ma’un/ 107: 1-7].
Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Allah ta’ala berfirman, ‘Wahai Muhammad, apakah engkau memperhatikan orang yang mendustakan hari kembali dan pembalasan. Yaitu orang yang sewenang-wenang terhadap anak yatim, menzholimi haknya, tidak memberinya makan dan tidak berbuat baik kepadanya. Dan juga tidak mendorong orang selainnya apalagi dirinya untuk memberi makan orang fakir yang tidak memiliki sesuatu untuk membantu dan mencukupinya”. [20]
وَ أَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَهُ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّى أَهَانَنِ كَلَّا بَلْ لَّا تُكْرِمُونَ اْليَتِيمَ
“Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rizkinya maka dia berkata: “Tuhanku menghinakanku”. Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya kamu tidak memuliakan anak yatim”. [QS al-Fajr/ 89: 16-17].
Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “Terdapat kewajiban memuliakan anak yatim dan motivasi untuk memberi makan orang-orang yang lapar dari kaum fakir dan miskin”. [21]
DILARANG MEMAKAN HARTA ANAK YATIM
            Diantara berbuat baik kepada anak-anak yatim adalah dengan tidak memakan harta yang dimilikinya. Hendaklah setiap mukmin menjauhi dan menghindarkan diri dari memakan dan memiliki harta mereka.
            Harta yang mereka miliki biasanya berasal dari warisan ayah mereka atau ayah dan ibu mereka yang telah wafat sedangkan mereka adalah ahli warisnya. Selama anak-anak tersebut masih belum mencapai usia baligh, belum dewasa dan belum dapat memanfaatkan harta yang mereka miliki dengan baik maka boleh seseorang untuk mengatur dan mengelola harta mereka dengan cara yang ma’ruf (baik). Namun ia harus tetap menjaga agar hartanya tidak bercampur dengan harta-harta anak-anak yatim tersebut. Ia tidak boleh memakan sedikitpun harta mereka kecuali jika ada sebab udzur syar’iy yang membolehkan mereka mengambil dan memanfaatkan harta mereka dengan tidak berbuat aniaya.
            Namun juga boleh jadi harta anak-anak yatim itu diperoleh dari para donatur yang diserahkan kepada suatu yayasan anak yatim untuk mengelolanya. Hal ini juga berlaku larangan bagi para pengelola yayasan tersebut untuk memakan dan memiliki harta mereka dengan sewenang-wenang. Yakni pemilik yayasan itu hidup dari harta para donatur sedangkan anak-anak yatim itu tetap hidup dalam berkekurangan. Maka janganlah ia mengekploitasi anak-anak yatim untuk keuntungan dirinya sendiri. Ma’adzallah.
وَ ءَاتُوا اْليَتَامَى أَمْوَالَهُمْ وَ لَا تَتَبَدَّلُوا اْلخَبِيثَ بِالطَّيِّبِ وَ لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَهُمْ إِلَى أَمْوَالِكُمْ إِنَّهُ كَانَ حُوبًا كَبِيرًا
“Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah baligh) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar”. [QS an-Nisa’/ 4: 2].
وَ ابْتَلُوا اْليَتَامَى حَتَّى إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ فَإِنْ ءَانَسْتُم مِنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ وَ لَا تَأْكُلُوهَا إِسْرَافًا وَ بِدَارًا أَنْ يَكْبَرُوا وَ مَنْ كَانَ فَقِيرًا فَلْيَأْكُلْ بِاْلمـَعْرُوفِ فَإِذَا دَفَعْتُمْ إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ فَاشْهَدُوا عَلَيْهِمْ وَ كَفَى بِاللهِ حَسِيبًا
“Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk menikah. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. Barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu). [QS an-Nisa’/ 4: 6].
وَ لَا تَقْرَبُوا مَالَ اْليَتِيمِ إِلَّا بِالَّتِى هِيَ أَحْسَنُ حَتَّى يَبْلُغَ أَشُدَّهُ
“Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa…”. [QS al-An’am/ 6: 152 dan al-Isra’/ 17: 34].
Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “Haramnya perbuatan syirik, terdapat hak kedua orang tua, terdapat larangan membunuh anak, larangan berbuat zina, homo seksual, dan semua perbuatan busuk dari perkataan, perbuatan ataupun keyakinan, membunuh jiwa kecuali dengan alasan yang hak (benar), memakan harta anak yatim, mengurangi/ mencurangi takaran dan timbangan, berkata-kata palsu, bersaksi palsu, merusak perjanjian, mengingkari janji, murtad dari Islam dan mengikuti madzhab-madzhab yang batil dan jalan-jalan yang sesat”. [22]
وَ يَسْأَلُونَكَ عَنِ اْليَتَامَى قُلْ إِصْلَاحٌ لَهُمْ خَيْرٌ وَ إِن يُخَالِطُوهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ
“…Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim, katakanlah, “Mengurus urusan mereka secara patut adalah baik, dan jika kamu bergaul dengan mereka, maka mereka adalah saudaramu”. [QS al-Baqarah/ 2: 220].
Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Jauhilah tujuh perkara yang membinasakan!”. Mereka bertanya, “Apakah itu wahai Rosulullah?”. Beliau menjawab,
الشِّرْكُ بِاللهِ وَ السِّحْرُ وَ قَتْلُ النَّفْسِ الَّتىِ حَرَّمَ اللهُ إِلاَّ بِاْلحَقِّ وَ أَكْلُ الرِّبَا وَ أَكْلُ مَالِ اْليَتِيْمِ وَ التَّوَلىَّ يَوْمَ الزَّحْفِ وَ قَذْفُ اْلمـُحْصَنَاتِ اْلمـُؤْمِنَاتِ اْلغَافِلاَتِ
“(1) Berbuat syirik kepada Allah, (2) sihir, (3) membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan (cara) yang benar, (4) makan harta riba, (5) makan harta anak yatim, (6) lari dari peperangan dan (7) menuduh wanita mukmin yang menjaga dirinya dalam keadaan lengah (dari berbuat maksiat)”. [HR al-Bukhoriy: 2766 dan lafazh ini baginya, 5764, 6858, Muslim: 89, Abu Dawud: 2874 dan an-Nasa’iy: VI/ 257. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [23]
إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ اْليَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِى بُطُونِهِمْ نَارًا وَ سَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)”. [QS an-Nisa’/ 4: 10].
Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “Haramnya memakan harta anak-anak yatim secara zhalim dan terdapat ancaman yang keras di dalamnya”. [24]
Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Allah ta’ala mengkhabarkan bahwa barangsiapa yang memakan harta anak yatim dalam keadaan zhalim maka ia hanyalah menelan api neraka ke dalam perutnya yang menyala-nyala pada hari kiamat”. [25]
Berkata asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah, “Pada sebahagian manusia dijumpai –wal iyadzu billah- tatkala ada saudaranya wafat dan ia memiliki beberapa orang anak yang masih kecil lalu ia menguasai hartanya dan memanfaatkannya untuk dirinya sendiri. Al-Iyadzu billah. Ia membelanjakannya tanpa alasan yang benar dan tidak ada mashlahatnya bagi anak-anak yatim tersebut. Maka ia adalah orang yang berhak mendapatkan ancaman tersebut bahwa ia akan menelan api neraka ke dalam perutnya. Kita memohon afiyat (keselamatan) kepada Allah ta’ala”.[26]
Jadi hukum memakan dan memiliki harta anak-anak yatim itu adalah haram, pelakunya diancam dengan api neraka dan perbuatan tersebut termasuk dari tujuh perkara yang membinasakan.
HAL-HAL YANG BERKAITAN DENGAN ANAK ANGKAT DARI ANAK YATIM
Terkadang dijumpai seorang muslim yang memiliki sifat welas asih dan perhatian kepada anak-anak yatim. Rasa sayang dan perhatiannya itu diwujudkan dengan mengangkat seorang atau beberapa anak yatim menjadi anak angkatnya. Hal ini apakah hanya dengan sikapnya saja mengangkatnya sebagai anak atau bahkan sampai mengurus surat adopsi atau pengangkatan anak kepada suatu instansi pemerintah. Namun dalam perkara ini, banyak dijumpai beberapa kesalahan dan kekeliruan yang amat fatal.
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan sehubungan dengan mengasuh dan mengurus anak yatim. Yang ini sering terjadi yakni kesalahan dan kekeliruan dalam kasus “anak angkat/ adopsi”, karena ketidakpahaman sebagian dari kaum muslimin terhadap hukum-hukum dalam syariat Islam, di antaranya,
  1. Larangan menisbatkan anak angkat/ anak asuh kepada selain ayah kandungnya, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
ادْعُوهُمْ لِآَبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ فَإِنْ لَمْ تَعْلَمُوا آَبَاءَهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ
“Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak (kandung) mereka; itulah yang lebih adil di sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu”. [QS al-Ahzab/ 33: 5].
Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “Yakni panggillah anak-anak angkat itu (dengan nama) ayah-ayah mereka yaitu nasabkanlah mereka kepada ayah-ayah mereka, ‘Wahai Fulan bin Fulan’. Karena memanggil mereka dengan (nama) ayah-ayah mereka itu lebih adil dan bijaksana di dalam hukum Allah dan syariat-Nya”. [27]
Berkata al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah, “Ayat ini merupakan perkara yang menghapus (nasikh) sesuatu yang terjadi di permulaan Islam akan bolehnya mengangkat (mengadopsi) anak ajnabiy (yang bukan keturunannya) yaitu berupa anak-anak angkat. Lalu Allah tabaroka wa ta’ala mengembalikan nasab mereka kepada ayah-ayah mereka secara hakiki. Dan hal ini adalah sesuatu yang adil, bijaksana dan berbakti (kepada orang tua)”. [28]
Dari Abu Dzarr, bahwasanya ia pernah mendengar Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ مِنْ رَجُلٍ ادَّعَى لِغَيْرِ أَبِيْهِ وَ هُوَ يَعْلَمُهُ إِلاَّ كَفَرَ وَ مَنِ ادَّعَى مَا لَيْسَ لَهُ فَلَيْسَ مِنَّا وَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ وَ مَنْ دَعَا رَجُلاً بِالْكُفْرِ أَوْ قَالَ عَدُوَّ اللَّهِ وَ لَيْسَ كَذَلِكَ إِلاَّ حَارَ عَلَيْهِ
“Tidaklah seseorang itu mengaku-ngaku kepada selain ayahnya padahal ia mengetahuinya melainkan ia telah kafir. Barangsiapa yang mengaku-ngaku sesuatu yang ia tidak miliki maka ia bukan termasuk golongan kami dan hendaklah ia mempersiapkan tempat duduknya dari api neraka. Dan barangsiapa yang menuduh seseorang dengan  kekafiran atau ia berkata, “Wahai musuh Allah padahal ia tidak begitu melainkan tuduhan itu akan kembali kepadanya”. [HR Muslim: 61 dan lafazh ini baginya dan Ahmad: V/ 166, Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [29]
Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Diharamkan menafikan diri dari nasab yang sudah diketahui dan mengaku-ngaku bernasab kepada selainnya”. [30]
Dari Ali bin Abi Thalib radliyallahu anhu, dari Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
وَ مَنِ ادَّعَى إِلَى غَيْرِ أَبِيْهِ أَوِ انْتَمَى إِلَى غَيْرِ مَوَالِيْهِ فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ وَ اْلمـَلَائِكَةِ وَ النَّاسِ أَجْمَعِيْنَ لَا يَقْبَلُ اللهُ مِنْهُ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ صَرْفًا وَ لاَ عَدْلًا
“Dan barangsiapa yang mengaku-ngaku kepada selain ayahnya atau bekerja kepada selain majikannya maka baginya laknat Allah, para Malaikat dan manusia seluruhnya. Allah tidak akan menerima taubat dan tebusan darinya pada hari kiamat kelak”. [HR al-Bukhoriy: 1870, Muslim: 1370, Ahmad: I/ 126 dan Abu Dawud: 5115. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [31]
Dari Sa’d bin Abi Waqqosh radliyallahu anhu bahwasanya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
مَنِ ادَّعَى إِلَى غَيْرِ أَبِيْهِ وَ هُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ غَيْرُ أَبِيْهِ فَاْلجَنَّةُ عَلَيْهِ حَرَامٌ
“Barangsiapa yang mengaku-ngaku kepada selain ayahnya sedangkan ia mengetahui bahwa ia bukan ayahnya maka diharamkan surga itu baginya”. [HR al-Bukhoriy: 6766, Muslim: 63, Abu Dawud: 5113, Ibnu Majah: 2610, Ahmad: I/ 169 dan ad-Darimiy: II/ 343. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [32]
Dari Ibnu Abbas radliyallahu anhuma berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam,
مَنِ انْتَسَبَ إِلَى غَيْرِ أَبِيْهِ أَوْ تَوَلَّى غَيْرَ مَوَالِيْهِ فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ وَ اْلمـَلَائِكَةِ وَ النَّاسِ أَجْمَعِيْنَ
“Barangsiapa yang bernasab kepada selain ayahnya atau mengabdi kepada selain majikannya maka ia akan dilaknat Allah, para malaikat dan manusia seluruhnya”. [HR Ibnu Majah: 2609. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [33]
Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
لَا تَرْغَبُوْا عَنْ آبَائِكُمْ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ أَبِيْهِ فَهُوَ كُفْرٌ
            “Janganlah kalian membenci ayah-ayah kalian. Barangsiapa yang membenci ayahnya maka ia telah berbuat kufur”. [HR al-Bukhoriy: 6768 dan Muslim: 62. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih].[34]
Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Diharamkan bernasab kepada selain ayah yang disertai dengan mengetahui keadaan mereka. Barangsiapa yang berbuat seperti itu maka ia telah kufur dengan kekufuran yang memindahkan/ mengeluarkanya dari agama. Hal tersebut dipahami dari sabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, ‘maka diharamkan surga itu baginya’. Islam bertekad untuk senantiasa menjaga nasab. Wajibnya berbakti kepada kedua orang tua”. [35]
Dalil-dalil di atas menegaskan bahwa siapapun yang enggan bernasab kepada ayahnyanya lantaran suatu hal maka ia telah kafir, dilaknat oleh Allah ta’ala, para Malaikat-Nya dan seluruh manusia, dijamin dengan neraka dan diharamkan masuk ke dalam surga. Al-Iyaadzu billah.
  1. Anak angkat/anak asuh tidak berhak mendapatkan warisan dari orang tua yang mengasuhnya, berbeda dengan kebiasaan di zaman Jahiliyah yang menganggap anak angkat seperti anak kandung yang berhak mendapatkan warisan ketika orang tua angkatnya meninggal dunia. Begitupun anak angkat tidak dapat mewarisi orang tua atau saudara angkatnya.
  2. Anak angkat/anak asuh bukanlah mahram, sehingga wajib bagi orang tua yaitu ibu yang mengasuhnya dan saudara angkatnya yang perempuan untuk memakai hijab yang menutupi aurat di depan anak tersebut. Dan jika anak angkat itu seorang perempuan maka ia wajib menjaga hijab yang menutupi auratnya di hadapan ayah angkat dan saudara angkatnya yang lelaki. Hal ini sebagaimana ketika mereka berada di depan orang lain yang bukan mahramnya, berbeda dengan kebiasaan di masa Jahiliyah.
  3. Orang tua angkat enggan memberitahukan kepada anak angkatnya tersebut tentang kondisinya sebagai anak angkat. Hal ini disebabkan khawatir nanti anak angkatnya menjadi sedih dan kecewa, berubah rasa cinta dan kasih sayangnya kepada mereka, berusaha mencari kerabatnya yang masih ada dan akhirnya akan meninggalkan mereka dan sebagainya.
Oleh sebab itu hendaknya seorang ayah atau ibu angkat, ketika anak angkatnya itu telah beranjak remaja dan memasuki usia baligh untuk segera memberitahukan dengan lemah lembut dan bijak kepadanya bahwa ia hanyalah seorang anak angkat yang diadopsi sejak kecil. Seraya dikatakan kepadanya bahwa perhatian, perlindungan, rasa kasih dan sayang mereka tidak akan berubah kepadanya sedikitpun. Hal ini bertujuan untuk menerapkan aturan-aturan syariat agama supaya tidak ada pelanggaran di dalamnya.
Wallahu a’lam bish showab.
[1] Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 3289 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 426.
[2] Majmu Fatawa wa Rosa’il: IX/503 dan Liqa’ al-Bab al-Maftuh.
[3] Bahjah an-Nazhirin: III/ 267.
[4] Shahih Sunan Abu Dawud: 2497, Irwa’ al-Ghalil: 1244 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 7609.
[5] Shahih Sunan Ibnu Majah: 2967 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 1015.
[6] Bahjah an-Nazhirin: I/ 354.
[7] Syar-h Riyadl ash-Shalihin: II/ 193, susunan asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Dar al-Aqidah li at-Turats.
[8] Aysar at-Tafasir: I/ 79, Susunan asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy, Maktabah al-Ulum wa al-Hikam al-Madinah al-Munawwarah, tahun 1415H/ 1994M.
[9] Aysar at-Tafasir: V/ 484.
[10] Aysar at-Tafasir: V/ 575.
[11] Aysar at-Tafasir: I/ 154.
[12] Aysar at-Tafasir: I/ 195.
[13] Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 854 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 1410.
[14] Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: II/ 535 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 250.
[15] Mukhtashor Shahih Muslim: 1766, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 962 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 4448.
[16] Bahjatun Nazhirin: I/ 350.
[17] Shahih al-Adab al-Mufrad: 100, 101, Shahih Sunan Abu Dawud: 4289, Shahih Sunan at-Turmudziy: 1564, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 800 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 1475.
Adapun hadits,
خَيْرُ بَيْتٍ فِي اْلمـُسْلِمِيْنَ بَيْتٌ فِيْهِ يَتِيْمٌ يُحْسَنُ إِلَيْهِ وَشَرُّ بَيْتٍ فِي اْلمـُسْلِمِيْنَ بَيْتٌ فِيْهِ يَتِيْمٌ يُسَاءُ إِلَيْهِ
“Sebaik-baik rumah kaum muslimin ialah rumah yang terdapat di dalamnya anak yatim yang diperlakukan (diasuh) dengan baik, dan seburuk-buruk rumah kaum muslimin ialah rumah yang di dalamnya terdapat anak yatim tapi ia diperlakukan dengan buruk”.
Diriwayatkan oleh Ibnu al-Mubarak di dalam al-Zuhd, Ibnu Majah: 3679, al-Bukhoriy di dalam al-Adab al-Mufrad: 137 dari jalan Yahya bin Abu Sulaiman dari Zaid bin Abu Attab dari Abu Hurairah dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam.
Berkata asy-Syaikh al-Albaniy, “Dla’if”. [Lihat Silsilah al-Ahadits adl-Dla’ifah wa al-Maudlu’ah: 1637, Dla’if Sunan Ibnu Majah: 803, Dla’if al-Adab al-Mufrad: 26, Dla’if al-Jami’ ash-Shaghir: 2905].
Atau yang semakna,
أَحَبُّ اْلبُيُوْتِ إِلَى اللهِ بَيْتٌ فِيْهِ يَتِيْمٌ مُكَرَّمٌ
“Rumah yang paling disukai oleh Allah adalah rumah yang di dalamnya ada anak yatim yang dimuliakan”.
Telah mengeluarkan hadits ini al-Mukhlish di dalam al-Fawa’id al-Muntaqo’, al-Uqailiy di dalam adl-Dlu’afa, ath-Thabraniy di dalam al-Mu’jam al-Kabir, Ibnu Adiy di dalam al-Kamil, al-Khara’ithiy di dalam Makarim al-Akhlaq, Abu Nu’aim di dalam al-Hilyah, al-Qodlo’iy di dalam Musnad asy-Syihab dan as-Salafiy di dalam ath-Thuyuriyat dari jalan Ishaq al-Hunainiy, menceritakan kepada kami Malik dari Yahya bin Muhammad bin Thahla’ (berkata sebahagian mereka: Muhammad bin Ajalan) dari ayahnya dari Umar berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam.
Berkata asy-Syaikh al-Albaniy, “Dla’if Jiddan”. [Lihat Silsilah al-Ahadits adl-Dla’ifah wa al-Maudlu’ah: 1636 dan Dla’if al-Jami’ ash-Shaghir: 169, 2906].
 [18] Bahjatun Nazhirin: I/ 350.
[19] Bahjah an-Nazhirin: I/ 347.
[20] Bahjah an-Nazhirin: I/ 348.
[21] Aysar at-Tafasir: V/ 569.
[22] Aysar at-Tafasir: II/ 142.
[23] Fat-h al-Bariy: V/ 393, X/ 232, XII/ 181, Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy: II/ 253-254 hadits nomor: 1232, al-Jami’ Ash-Shahih: I/ 64, Shahih Muslim bi Syarh al-Imam an-Nawawiy: II/ 83, Mukhtashor Shahih Muslim: 47, Shahih Sunan Abi Dawud: 2498, ‘Aun al-Ma’bud: VIII/ 55, Shahih Sunan An-Nasa’iy: 3432, Misykah al-Mashobih: : 52, Riyadl ash-Shalihin: 1614, 1793 dan Tahqiq Riyadl Ash-Shalihin: 1621, 1802.
[24] Aysar at-Tafasir: I/ 441.
[25] Bahjah an-Nazhirin: III/124.
[26] Syar-h Riyadl ash-Shalihin: IV/ 292.
[27] Aysar at-Tafasir: IV/ 242.
[28] Tafsir al-Qur’an al-Azhim: III/ 564, Cetakan Dar al-Fikr tahun 1412 H/ 1992 M.
[29] al-Jami’ ash-Shahih: I/ 57, Shahih Muslim bi Syarh an-Nawawiy: II/ 49, Mukhtashor Shahih Muslim: 50, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 5431 dan Tahqiq Riyadl ash-Shalihin: 1742, 1814.
[30] Bahjah an-Nazhirin: III/ 271.
[31] Shahih Sunan Abu Dawud: 4268, Ghoyah al-Maram: 266 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 5987.
[32] Mukhtashor Shahih Muslim: 49, Shahih Sunan Abu Dawud: 4265, Shahih Sunan Ibnu Majah: 2114, Ghoyah al-Maram: 267 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 5989.
[33] Shahih Sunan Ibnu Majah: 2113 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6104.
[34] Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 7279
[35] Bahjah an-Nazhirin: III/ 269.