بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
Alkisah, seseorang berkebangsaan Arab berkunjung ke Pesantren Kedemangan, Bangkalan, Jawa Timur. Masyarakat Madura menyebutnya habib. Kala itu, Syaikhona KH Muhammad Kholil sedang memimpin jamaah sembahyang maghrib bersama para santrinya.
Usai menunaikan shalat, Mbah Kholil pun menemui para tamunya, termasuk orang Arab ini. Dalam pembicaraan, tamu barunya ini menyampaikan sebuah teguran, “Tuan, bacaan al-Fatihah Antum (Anda) kurang fasih.” Rupanya, sebagai orang Arab, ia merasa berwenang mengoreksi bacaan shalat Mbah Kholil.
Setelah berbasa-basi sejenak, Mbah Kholil mempersilakan tamu Arab itu mengambil wudhu untuk melaksanakan sembahyang maghrib. “Silakan ambil wudhu di sana,” ucapnya sambil menunjuk arah tempat wudhu di sebelah masjid.
Baru saja selesai wudhu, si orang Arab tiba-tiba dikejutkan dengan munculnya seekor macan tutul. Dengan bahasa Arab yang fasih, ia berteriak dengan maksud mengusir si macan. Kefasihan bahasa Arabnya tak memberi pengaruh apa-apa. Binatang buas itu justru kian mendekat.
Mendengar keributan di area tempat wudhu, Mbah Kholil datang menghampiri. Mbah Kholil paham, macan tutul itu lah sumber kegaduhan. Kiai keramat ini pun melontarkan sepatah dua patah kata kepada macan. Meski tak sefasih tamu Arabnya, anehnya, sang macan langsung bergegas pergi.
Orang Arab itu akhirnya mafhum, kiai penghafal al-Qur’an yang menguasai qiraat sab’ah (tujuh cara membaca al-Qur’an) ini sedang memberi pelajaran berharga untuk dirinya. Nilai ungkapan seseorang bukan terletak sebatas pada kefasihan kata-kata, melainkan sejauh mana penghayatan atas maknanya.
Usai menunaikan shalat, Mbah Kholil pun menemui para tamunya, termasuk orang Arab ini. Dalam pembicaraan, tamu barunya ini menyampaikan sebuah teguran, “Tuan, bacaan al-Fatihah Antum (Anda) kurang fasih.” Rupanya, sebagai orang Arab, ia merasa berwenang mengoreksi bacaan shalat Mbah Kholil.
Setelah berbasa-basi sejenak, Mbah Kholil mempersilakan tamu Arab itu mengambil wudhu untuk melaksanakan sembahyang maghrib. “Silakan ambil wudhu di sana,” ucapnya sambil menunjuk arah tempat wudhu di sebelah masjid.
Baru saja selesai wudhu, si orang Arab tiba-tiba dikejutkan dengan munculnya seekor macan tutul. Dengan bahasa Arab yang fasih, ia berteriak dengan maksud mengusir si macan. Kefasihan bahasa Arabnya tak memberi pengaruh apa-apa. Binatang buas itu justru kian mendekat.
Mendengar keributan di area tempat wudhu, Mbah Kholil datang menghampiri. Mbah Kholil paham, macan tutul itu lah sumber kegaduhan. Kiai keramat ini pun melontarkan sepatah dua patah kata kepada macan. Meski tak sefasih tamu Arabnya, anehnya, sang macan langsung bergegas pergi.
Orang Arab itu akhirnya mafhum, kiai penghafal al-Qur’an yang menguasai qiraat sab’ah (tujuh cara membaca al-Qur’an) ini sedang memberi pelajaran berharga untuk dirinya. Nilai ungkapan seseorang bukan terletak sebatas pada kefasihan kata-kata, melainkan sejauh mana penghayatan atas maknanya.