Pesan - Pesanku Kepada Anak Cucuku Semua

Oleh: Haji Moh. Ridwan 

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ


Tanggal  05 Januari 2014. Rabiul Awal 1435 H. Jam 20:30 WIB

                                           السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ




Pesan - Pesanku Kepada Anak Cucuku Semua

(1) Bertaqwalah hanya kepada اَللّهُ (Allah SWT) dalam keadaan lengang dan sempit.

(2) Bersabarlah - bersabarlah dalam menempuh hidup beragama.
(3) Rukun - rukunlah bersama saudara, pelihara kedamaian abadi.
(4) Perbanyak silaturrahmi kunjung - mengunjungi "makan - makan bersama".
(5) Kasih sayangilah anak - anakmu seperti kasih sayang Ibu & Bapak kepadamu, sayangilah cucu melebihi kasih sayang kepada dirimu sendiri kecuali kepada Nabi Muhammad SAW  harus lebih.
(6) Piara anak yatim dan santuni fakir miskin dari keluarga sendiri dan tetangga dekat.
(7) Perbanyak shodaqoh semampunya.
(8) Hormati orang yang lebih tua dan berilmu agama (takdzimi) dan cintailah yang lebih muda dan berilmu agama.
(9) Sering - sering ziarah qubur mendo'akan dan mengingat matimu (i'tibar).
(10) Hiduplah sederhana - bersahaja qona'ah - nerimo.
(11) Banyak - banyaklah bersyukur atas nikmat dan karunia  اَللّهُ (Allah SWTsemoga ditambah-Nya.

وَسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ


Haji Moh. Ridwan

Bertaqwalah hanya kepada Allah SWT dalam keadaan lengang dan sempit.


Oleh: Haji Moh. Ridwan 

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Di antara sifat orang bertaqwa adalah rajin sedekah baik di waktu lapang maupun sempit, menahan amarah dan mudah memaafkan orang lain. Dan sifat-sifat ini amat dicintai oleh Allah.
Allah Ta’ala berfirman,
وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ (133) الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ (134)
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema’afkan (kesalahan) orang lain. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.”
(QS. Ali Imron [3] : 133-134)
Dalam ayat yang mulia ini Allah memerintahkan untuk bersegera dalam dua hal yaitu :
[1] Meraih ampunan Allah
[2] Meraih surga-Nya yang lebarnya selebar langit dan bumi. Apalagi panjangnya!!
Surga ini Allah sediakan bagi orang-orang yang bertakwa. –semoga Allah memudahkan kita untuk masuk di dalamnya-
Lalu apa pengertian takwa?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan dalam Majmu’ Fatawa (XX/132), takwa bukanlah hanya meninggalkan maksiat (kejelekan) namun taqwa -sebagaimana ditafsirkan oleh ulama-ulama dahulu dan belakangan- adalah melakukan apa yang Allah perintahkan dan meninggalkan apa yang Allah larang.
Tholaq bin Habib rahimahullah mengatakan,
أَنْ تَعْمَلَ بِطَاعَةِ اللهِ عَلَى نُوْرٍ مِنَ اللهِ تَرْجُوْ ثَوَابَ اللهِ وَ أَنْ تَتْرُكَ مَعْصِيَةَ اللهِ عَلَى نُوْرٍ مِنَ اللهِ تَخَافُ عَذَابَ اللهِ
Taqwa adalah engkau melakukan ketaatan kepada Allah, di atas cahaya dari Allah (yaitu di atas ilmu) dengan harapan untuk mendapatkan pahala dari Allah dan engkau menjauhi maksiat atas cahaya dari Allah (yaitu di atas ilmu) karena takut akan ’adzab Allah.
Di antara bentuk ketaqwaan adalah menjaga shalat di mana Allah perintahkan kepada kita,
حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَى
“Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa (shalat Ashar atau Shubuh)” (QS. Al Baqarah [2] : 238)
Dan Allah melarang meninggalkan perkara agung ini karena inilah amalan yang pertama kali akan dihisab (diperhitungkan) di hari kiamat kelak di mana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
أَوَّلُ مَا يُحَاسَبُ بِهِ العَبْدُ الصَّلَاةُ وَأَوَّلُ مَا يُقْضَى بَيْنَ النَّاسِ فِي الدِّمَاءِ
”Amalan pertama yang akan dihisab dari seorang hamba adalah shalat. Dan perkara pertama kali yang akan diputuskan adalah urusan darah.” (HR. An Nasa’i dan Ath Thobroni, dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ash Shohihah no. 1748). Oleh karena itu, janganlah menganggap remeh shalat ini dan janganlah meninggalkannya karena Rasulullah r juga bersabda,
إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكَ الصَّلاَةِ
“Sesungguhnya di antara pembeda antara seorang muslim dengan kesyirikan dan kekafiran adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim) yaitu yang menghalangi seseorang dari kekafiran adalah tidak meninggalkan shalat (yaitu melakukan shalat). Dan apabila seseorang meninggalkan shalat tidak lagi tersisa penghalang antara keislaman dan kesyirikan bahkan dia akan kafir (keluar dari Islam). Dan perhatikanlah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَا يَجْتَمِعُ الإِيْمَانَ وَالكُفْرَ فِي قَلْبِ امْرِىءٍ
“Tidak mungkin keimanan dan kekufuran itu bersatu dalam hati seseorang.” (Silsilah Ash Shohihah no. 1050). Imam Syafi’i dan Imam Malik mengatakan orang yang meninggalkan shalat adalah orang yag fasik dan dia akan dihukum sebagaimana orang yang berzina. Ibnul Qayyim dalam kitab Ash Sholatu wa Hukmu Tarikiha berkata,”Kaum muslimin sepakat bahwa meninggalkan shalat yang wajib dengan sengaja adalah dosa besar yang paling besar dan dosanya lebih besar dari dosa membunuh, merampas harta orang lain, zina, mencuri, dan minum minuman keras. Orang yang meninggalkannya akan mendapat hukuman dan kemurkaan Allah serta mendapatkan kehinaan di dunia dan akhirat.” Mayoritas ulama mengatakan orang yang meninggalkan shalat harus dibunuh dengan pedang di lehernya, namun jika shalatnya ditinggalkan dengan sengaja tidak dikeluarkan dari Islam (alias ‘kafir’) sebagaimana dikatakan Syaikh Al Albani dalam Hukmu Tarikish Sholat namun ini adalah dosa besar yang paling besar yang pelakunya harus dibunuh.
Surga ini Allah sediakan bagi orang yang bertaqwa dan mereka ini adalah penghuninya dalam amalan takwa adalah amalan yang mengatarkan padanya. Kemudian selanjutnya Allah mensifati orang yang bertakwa dan amalannya :
´ { الذين ينفقون في السراء والضراء }
Yaitu orang-orang yang banyak berinfak dalam keadaan susah maupun mudah, lapang atau sempit, senang maupun sulit, sehat ataupun sakit dan dalam segala kondisi. Jika dalam keadaan mudah dan kelebihan mereka berinfak, begitu juga dalam keadaan sempit (susah), mereka tetap berinfak walaupun sedikit.
´ { والكاظمين الغيظ }
Orang yang bertaqwa ini adalah orang yang menahan amarah. Apabila ada yang menyakitinya, maka normalnya manusia, dalam hatinya akan dongkol, dan akan membalas dengan kata-kata maupun perbuatan. Inilah kebiasaan orang ketika disakiti. Namun orang yang bertakwa yang akan dijanjikan memasuki surga Allah akan menahan hatinya dari amarah, berusaha untuk sabar walaupun telah disakiti. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرُعة، وَلَكِنَّ الشَّدِيدَ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ”. وقد رواه الشيخان من حديث مالك.
“Orang yang kuat bukanlah orang yang pandai bergelut. Namun, orang yang kuat adalah yang pandai menahan dirinya ketika marah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
الغَضَبُ يَجْمَعُ الشَّرَّ كُلَّهُ.
“Kemarahan itu akan mengumpulkan seluruh kejelekan.” (HR. Ahmad. Dishohihkan Syaikh Al Albani dalam Shohih Targhib wa Tarhib)
´ { والعافين عن الناس }
Termasuk dalam memaafkan orang lain adalah memberi maaf kepada semua orang yang telah menyakiti dengan perkataan dan perbuatan. Memaafkan orang lain ini lebih utama dari menahan amarah karena memaafkan orang lain berarti tidak balas dendam terhadap orang yang telah menyakiti dan bermurah hati kepadanya.
Inilah orang-orang yang menghiasi diri dengan akhlak yang mulia dan menjauhi akhlak yang tercela karena memaafkan hamba Allah sebagai rahmat (kasih sayang) kepada mereka, berbuat baik kepada mereka, dan tidak senang menyakiti mereka. Semoga Allah mengampuni orang-orang seperti ini. Dan ingatlah balasannya adalah di sisi Allah yang Maha Mulia dan balasannya bukanlah di sisi hamba yang fakir yang tidak dapat memberikan apa-apa. Ingatlah firman Allah Ta’ala,
فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ
”Barang siapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya adalah di sisi Allah.” (QS. Asyura [42] : 40)
ثلاث أُقْسِمُ عليهن: ما نقص مال من صدقة، وما زاد الله عبدا بعفو إلا عِزا، ومن تواضع لله رفعه الله
”Tiga hal yang Allah bersumpah dengannya : [1] Harta tidaklah berkurang dengan shodaqoh, [2] Tidaklah Allah menambahkan kepada orang yang memberi maaf kecuali kemuliaan, [3] Barangsiapa yang tawadhu (rendah diri) karena Allah maka Allah akan meninggikan (derajatnya).” (HR. Tirmidzi, Lihat Tafsir Ibnu Katsir)
Semoga Allah menganugerahkan pada kita 3 sifat orang yang bertaqwa ini.Sifat

Bersabarlah - bersabarlah dalam menempuh hidup beragama.


Oleh: Haji Moh. Ridwan 

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Seandainya kita bertanya kepada orang-orang di sekeliling kita dari berbagai agama, bangsa, profesi dan status sosial tentang cita-cita mereka hidup di dunia ini tentu jawaban mereka sama “kami ingin bahagia”. Bahagia adalah keinginan dan cita-cita semua orang. Orang mukmin ingin bahagia demikian juga orang kafir pun ingin bahagia. Orang yang berprofesi sebagai pencuri pun ingin bahagia dengan profesinya. Melalui kegiatan menjual diri, seorang pelacur pun ingin bahagia. Meskipun semua orang ingin bahagia, mayoritas manusia tidak mengetahui bahagia yang sebenarnya dan tidak mengetahui cara untuk meraihnya. Meskipun ada sebagian orang merasa gembira dan suka cita saat hidup di dunia akan tetapi kecemasan, kegalauan dan penyesalan itu merusak suka ria yang dirasakan. Sehingga sebagian orang selalu merasakan kekhawatiran mengenai masa depan mereka. Terlebih lagi ketakutan terhadap kematian.
Allah berfirman dalam surat Al Jumu’ah ayat 8:
قُلْ إِنَّ الْمَوْتَ الَّذِي تَفِرُّونَ مِنْهُ فَإِنَّهُ مُلاَقِيكُمْ ثُمَّ تُرَدُّونَ إِلَى عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ
“Katakanlah: Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada yang mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. Al Jumu’ah: 8)
Banyak orang yang beranggapan bahwasanya orang-orang barat adalah orang-orang yang hebat. Mereka beranggapan bahwasanya orang-orang barat hidup penuh dengan kebahagiaan, ketenteraman dan ketenangan. Tetapi fakta berbicara lain, realita di lapangan menunjukkan bahwa secara umum orang-orang barat itu hidup penuh dengan penderitaan. Hal ini dikuatkan dengan berbagai hasil penelitian yang dilakukan oleh orang-orang barat sendiri tentang kasus pembunuhan, bunuh diri dan berbagai tindakan kejahatan yang lainnya, namun ada sekelompok manusia yang memahami hakikat kebahagiaan bahkan mereka sudah menempuh jalan untuk mencapainya. Merekalah orang-orang yang beriman kepada Allah. Mereka memandang kebahagiaan itu terdapat dalam sikap taat kepada Allah dan mendapat ridho-Nya, menjalankan perintah-perintahNya dan meninggalkan larangan-larangan-Nya.
Boleh jadi di antara mereka yang tidak memiliki kebutuhan pokoknya setiap harinya, akan tetapi dia adalah seorang yang benar-benar bahagia dan bergembira bagaikan pemilik dunia dan segala isinya.
Allah berfirman,
قُلْ بِفَضْلِ اللهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُونَ
“Katakanlah: Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya iti dari apa yang mereka kumpulkan.” (QS. Yunus: 58)
Jika mayoritas manusia kebingungan mengenai jalan yang harus ditempuh menuju bahagia maka hal ini tidak pernah dialami oleh seorang mukmin. Bagi seorang mukmin jalan kebahagiaan sudah terpampang jelas di hadapannya. Cita-cita agar mendapatkan kebahagiaan terbesar mendorongnya untuk menghadapi beragam kesulitan.
Terdapat berbagai keterangan dari wahyu Alloh sebagai kabar gembira bagi orang-orang yang beriman bahwasanya dirinya sudah berada di atas jalan yang benar dan tepat Allah berfirman:
وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلاَتَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَالِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Dan bahwa (yang kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalannya. yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa.” (QS. Al An’aam: 153)
Jika di antara kita yang bertanya bagaimanakah yang dirasakan bagi orang-orang yang bahagia dan orang-orang yang celaka maka Allah sudah memberikan jawaban dengan firman-Nya:
فَأَمَّا الَّذِينَ شَقُوا فَفِي النَّارِ لَهُمْ فِيهَا زَفِيرٌ وَشَهِيقٌ خَالِدِينَ فِيهَا مَادَامَتِ السَّمَاوَاتُ وَاْلأَرْضُ إِلاَّمَاشَآءَ رَبُّكَ إِنَّ رَبَّكَ فَعَّالٌ لِّمَا يُرِيدُ وَأَمَّا الَّذِينَ سُعِدُوا فَفِي الْجَنَّةِ خَالِدِينَ فِيهَا مَادَامَتِ السَّمَاوَاتُ وَاْلأَرْضُ إِلاَّ مَاشَآءَ رَبُّكَ عَطَآءً غَيْرَ مَجْذُوذٍ
“Adapun orang-orang yang celaka, Maka (tempatnya) di dalam neraka, di dalamnya mereka mengeluarkan dan menarik nafas (dengan merintih), Mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain). Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang dia kehendaki. Adapun orang-orang yang berbahagia, maka tempatnya di dalam surga, mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain); sebagai karunia yang tiada putus-putusnya.” (QS. Hud: 106-108)
Jika di antara kita yang bertanya-tanya bagaimanakah cara untuk menjadi orang yang berbahagia, maka Alloh sudah memberikan jawabannya dengan firman-Nya,
ٌّفَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُم مِّنِّي هُدًى فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلاَ يَضِلُّ وَلاَيَشْقَى وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِى فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى
“Barang siapa yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (QS. Thoha: 123-124)
Dan juga dalam firman-Nya,
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَاكَانُوا يَعْمَلُونَ
“Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl: 97)
Kebahagiaan seorang mukmin semakin bertambah ketika dia semakin dekat dengan Tuhannya, semakin ikhlas dan mengikuti petunjuk-Nya. Kebahagiaan seorang mukmin semakin berkurang jika hal-hal di atas makin berkurang dari dirinya.
Seorang mukmin sejati itu selalu merasakan ketenangan hati dan kenyamanan jiwa. Dia menyadari bahwasanya dia memiliki Tuhan yang mengatur segala sesuatu dengan kehendak-Nya.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sungguh menakjubkan keadaan orang-orang yang beriman. Sesungguhnya seluruh keadaan orang yang beriman hanya akan mendatangkan kebaikan untuk dirinya. Demikian itu tidak pernah terjadi kecuali untuk orang-orang yang beriman. Jika dia mendapatkan kesenangan maka dia akan bersyukur dan hal tersebut merupakan kebaikan untuknya. Namun jika dia merasakan kesusahan maka dia akan bersabar dan hal tersebut merupakan kebaikan untuk dirinya.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah)
Inilah yang merupakan puncak dari kebahagiaan. Kebahagiaan adalah suatu hal yang abstrak, tidak bisa dilihat dengan mata, tidak bisa diukur dengan angka-angka tertentu dan tidak bisa dibeli dengan rupiah maupun dolar. Kebahagiaan adalah sesuatu yang dirasakan oleh seorang manusia dalam dirinya. Hati yang tenang, dada yang lapang dan jiwa yang tidak dirundung malang, itulah kebahagiaan. Bahagia itu muncul dari dalam diri seseorang dan tidak bisa didatangkan dari luar.
Tanda Kebahagiaan
Imam Ibnu Al Qoyyim mengatakan bahwa tanda kebahagiaan itu ada 3 hal. 3 hal tersebut adalah bersyukur ketika mendapatkan nikmat, bersabar ketika mendapatkan cobaan dan bertaubat ketika melakukan kesalahan. Beliau mengatakan: sesungguhnya 3 hal ini merupakan tanda kebahagiaan seorang hamba dan tanda keberuntungannya di dunia dan di akhirat. Seorang hamba sama sekali tidak pernah bisa terlepas dari 3 hal tersebut:
1. Syukur ketika mendapatkan nikmat.
Seorang manusia selalu berada dalam nikmat-nikmat Allah. Meskipun demikian, ternyata hanya orang berimanlah yang menyadari adanya nikmat-nikmat tersebut dan merasa bahagia dengannya. Karena hanya merekalah yang mensyukuri nikmat, mengakui adanya nikmat dan menyanjung Zat yang menganugerahkannya. Syukur dibangun di atas 5 prinsip pokok:
  1. Ketundukan orang yang bersyukur terhadap yang memberi nikmat.
  2. Rasa cinta terhadap yang memberi nikmat.
  3. Mengakui adanya nikmat yang diberikan.
  4. Memuji orang yang memberi nikmat karena nikmat yang dia berikan.
  5. Tidak menggunakan nikmat tersebut dalam hal-hal yang tidak disukai oleh yang memberi nikmat.
Siapa saja yang menjalankan lima prinsip di atas akan merasakan kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Sebaliknya, jika lima prinsip di atas tidak dilaksanakan dengan sempurna maka akan menyebabkan kesengsaraan selamanya.
2. Sabar ketika mendapat cobaan.
Dalam hidup ini di samping ada nikmat yang harus disyukuri, juga ada berbagai ujian dari Allah dan kita wajib bersabar ketika menghadapinya. Ada tiga rukun sabar yang harus dipenuhi supaya kita bisa disebut orang yang benar-benar bersabar.
  1. Menahan hati untuk tidak merasa marah terhadap ketentuan Allah.
  2. Menahan lisan untuk tidak mengadu kepada makhluk.
  3. Menahan anggota tubuh untuk tidak melakukan hal-hal yang tidak di benarkan ketika terjadi musibah, seperti menampar pipi, merobek baju dan sebagainya.
Inilah tiga rukun kesabaran, jika kita mampu melaksanakannya dengan benar maka cobaan akan berubah menjadi sebuah kenikmatan.
3. Bertaubat ketika melakukan kesalahan.
Jika Allah menghendaki seorang hamba untuk mendapatkan kebahagiaan dan keberuntungan di dunia dan akhirat, maka Allah akan memberikan taufik kepada dirinya untuk bertaubat, merendahkan diri di hadapan-Nya dan mendekatkan diri kepada Allah dengan berbagai kebaikan yang mampu untuk dilaksanakan. Oleh karena itu, ada seorang ulama salaf mengatakan: “Ada seorang yang berbuat maksiat tetapi malah menjadi sebab orang tersebut masuk surga. Ada juga orang yang berbuat kebaikan namun menjadi sebab masuk neraka.” Banyak orang bertanya kepada beliau, bagaimana mungkin hal tersebut bisa terjadi?, lantas beliau menjelaskan: “Ada seorang yang berbuat dosa, lalu dosa tersebut selalu terbayang dalam benaknya. Dia selalu menangis, menyesal dan malu kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Hatinya selalu sedih karena memikirkan dosa-dosa tersebut. Dosa seperti inilah yang menyebabkan seseorang mendapatkan kebahagiaan dan keberuntungan. Dosa seperti itu lebih bermanfaat dari berbagai bentuk ketaatan, Karena dosa tersebut menimbulkan berbagai hal yang menjadi sebab kebahagiaan dan keberuntungan seorang hamba. Sebaliknya ada juga yang berbuat kebaikan, akan tetapi kebaikan ini selalu dia sebut-sebut di hadapan Allah. Orang tersebut akhirnya menjadi sombong dan mengagumi dirinya sendiri disebabkan kebaikan yang dia lakukan. Orang tersebut selalu mengatakan ’saya sudah berbuat demikian dan demikian’. Ternyata kebaikan yang dia kerjakan menyebabkan timbulnya ‘ujub, sombong, membanggakan diri dan merendahkan orang lain. Hal-hal ini merupakan sebab kesengsaraan seorang hamba. Jika Allah masih menginginkan kebaikan orang tersebut, maka Allah akan memberikan cobaan kepada orang tersebut untuk menghilangkan kesombongan yang ada pada dirinya. Sebaliknya, jika Allah tidak menghendaki kebaikan pada orang tersebut, maka Allah biarkan orang tersebut terus menerus pada kesombongan dan ‘ujub. Jika ini terjadi, maka kehancuran sudah berada di hadapan mata.”
Al Hasan al-Bashri mengatakan, “Carilah kenikmatan dan kebahagiaan dalam tiga hal, dalam sholat, berzikir dan membaca Al Quran, jika kalian dapatkan maka itulah yang diinginkan, jika tidak kalian dapatkan dalam tiga hal itu maka sadarilah bahwa pintu kebahagiaan sudah tertutup bagimu.”
Malik bin Dinar mengatakan, “Tidak ada kelezatan selezat mengingat Allah.”
Ada ulama salaf yang mengatakan, “Pada malam hari orang-orang gemar sholat malam itu merasakan kelezatan yang lebih daripada kelezatan yang dirasakan oleh orang yang bergelimang dalam hal yang sia-sia. Seandainya bukan karena adanya waktu malam tentu aku tidak ingin hidup lebih lama di dunia ini.”
Ulama’ salaf yang lain mengatakan, “Aku berusaha memaksa diriku untuk bisa sholat malam selama setahun lamanya dan aku bisa melihat usahaku ini yaitu mudah bangun malam selama 20 tahun lamanya.”
Ulama salaf yang lain mengatakan, “Sejak 40 tahun lamanya aku merasakan tidak ada yang mengganggu perasaanku melainkan berakhirnya waktu malam dengan terbitnya fajar.”
Ibrahim bin Adham mengatakan, “Seandainya para raja dan para pangeran mengetahui bagaimana kebahagiaan dan kenikmatan tentu mereka akan berusaha merebutnya dari kami dengan memukuli kami dengan pedang.” Ada ulama salaf yang lain mengatakan, “Pada suatu waktu pernah terlintas dalam hatiku, sesungguhnya jika penghuni surga semisal yang kurasakan saat ini tentu mereka dalam kehidupan yang menyenangkan.”
Imam Ibnul Qoyyim bercerita bahwa, “Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan: ‘Sesungguhnya dalam dunia ini ada surga. Barang siapa belum pernah memasukinya maka dia tidak akan memasuki surga diakhirat kelak.’” Wallahu a’laam.

Rukun - rukunlah bersama saudara, pelihara kedamaian abadi.


Oleh: Haji Moh. Ridwan 

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Segala puji bagi Allah Ta’ala semata, dan kepadaNya kami minta pertolongan. Shalawat kepada Nabi yang diutus, Muhammad bin ‘Abdillah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan kepada keluarganya, para sahabatnya serta orang-orang yang mengikuti beliau hingga hari kiamat.
Sesungguhnya Islam menjelaskan dengan terang akan perkara “semangat di atas ikatan keimanan di antara kaum muslimin”. Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu bersaudara, maka perbaikilah (damaikanlah) hubungan antara kedua saudaramu (yang berselisih), dan bertaqwalah kepada Allah agar kalian diberi rahmat“. (QS. Al-Hujurat: 10)
Dari sini berarti memutus hubungan (di antara kaum muslimin) adalah dosa besar di antara dosa-dosa besar yang ada. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dibukakan pintu-pintu surga pada hari senin dan kamis, maka diampuni setiap hamba yang muslim selama tidak berbuat syirik kepada Allah, kecuali seseorang yang terdapat kebencian pada saudaranya, lalu dikatakan: Perhatikanlah oleh kalian sampai mereka berdua berdamai. Perhatikanlah oleh kalian sampai mereka berdua berdamai.” (HR.  Muslim).
Sesungguhnya seorang muslim yang muwahhid (bertauhid) lagi jujur ketauhidannya, tidak akan membenci dan hasad (dengki) kepada saudaranya. Jika saudaranya merasakan sakit, maka ia pun merasa hal yang sama. Bahkan ia pun akan merasakan bahagia jika saudaranya bahagia. Ia akan berusaha menjaga dirinya dari sekecil mungkin berbuat salah kepada saudaranya.
Dalam hadits dari ‘Aisyah radiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Yang paling dibenci oleh Allah adalah seseorang yang suka menentang lagi suka membantah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Tiada lain yang dimaksud adalah orang yang menjerumuskan dirinya ke dalam dosa dengan permusuhan dan perdebatan.
Dan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian saling mencela (yaitu berbicara dengan perkataan jelek), saling bermusuhan, saling memata-matai, dan melakukan jual beli najsy (menawar harga tinggi untuk menipu pengunjung lainnya). Jadilah hamba Allah yang bersaudara.” (HR. Muslim).
Dari Abi Ayub Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah halal bagi seseorang mendiamkan saudaranya lebih dari tiga hari, jika bertemu maka (yang satu) berpaling ke sini  dan (yang lain) menghindar ke sana. Sebaik-baik di antara keduanya adalah yang memulai mengucapkan salam.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dari Abu Khurasy As-Sulamiy radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya dia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mendiamkan saudaranya selama 1 tahun, maka ia seakan-akan telah menumpahkan darahnya.” (HR. Abu Daud, dishahihkan oleh Al-Albani). Dalam hadits lain disebutkan, “Dan tidak ada kebaikan bagi orang yang tidak mau bersahabat dan bersaudara.” (HR. Ahmad. Al-Albani berkata bahwa hadits ini shahih sesuai syarat Muslim)
Manusia yang memiliki hati dan akal yang sehat lagi menginginkan kebaikan merupakan manusia yang mulia lagi terpuji. Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ (102) وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَى شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آَيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ (103)
Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa kepadaNya, dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim. Dan berpegangteguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu berceraiberai, dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliyah) bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hatimu sehingga dengan karuniaNya kamu menjadi bersaudara, sedangkan (pada saat itu) kamu berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu darinya.” (QS. Ali ‘Imran: 102-103)
فَاتَّقُوا اللَّهَ وَأَصْلِحُوا ذَاتَ بَيْنِكُمْ
Maka bertaqwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan di antara sesamamu.” (QS. Al-Anfal: 1)
وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا أَلَا تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak suka bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nuur: 22)
فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاصْفَحْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
Maka maafkanlah mereka dan biarkanlah mereka. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Maidah: 13)
وَلَا تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ
Dan janganlah kamu berselisih yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan kekuatanmu menjadi hilang.” (QS. Al-Anfal: 46)
وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ
Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih setelah sampai kepada mereka keterangan yang jelas.” (QS. Ali ‘Imran: 105)
لَا خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِنْ نَجْوَاهُمْ إِلَّا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلَاحٍ بَيْنَ النَّاسِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ مَرْضَاةِ اللَّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا
Tidak ada kebaikan dari banyak pembicaraan rahasia mereka, kecuali pembicaraan rahasia dari orang yang menyuruh (orang) bersedekah, atau berbuat kebaikan, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Barangsiapa berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak Kami akan memberinya pahala yang besar.” (QS. An-Nisa': 114)
Wahai saudaraku yang menginginkan perbaikan. Aku berikan kabar gembira  berupa pahala yang besar lagi terpuji dari Allah Yang Maha Mulia. Asalkan engkau memperbaiki niatmu, mengikhlaskan amalmu kepada Allah Ta’ala semata, mengikuti petunjuk Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat beliau radhiyallahu ‘anhum serta para salafush sholih. Diwajibkan atas kalian menjadi perantara dalam menyampaikan petunjuk dan perbaikan, serta mencintai kebaikan atas manusia, memerintahkan kepada yang ma’ruf, melarang dari perkara yang mungkar dengan cara yang baik dan dengan didasari ilmu (bashiroh). Melakukan hal-hal tadi dengan penuh kesabaran, kelembutan, serta berhati-hati dari sikap ekstrim dan terburu-buru. Kewajiban kita hanyalah menyampaikan saja, adapun hidayah serta perubahan dan perbaikan adalah di Tangan Allah ‘azza wa jalla.
Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
Sesungguhnya kamu tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu cintai, akan tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.” (QS. Al-Qashash: 56)
Kita harus ingat bahwa menentang dan memberontak para pemimpin adalah dosa besar di antara dosa-dosa besar yang ada. Sebagaimana yang telah disebutkan di atas menggambarkan dengan jelas tentang larangan saling bertikai.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَطَاعَنِى فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ ، وَمَنْ عَصَانِى فَقَدْ عَصَى اللَّهَ ، وَمَنْ أَطَاعَ أَمِيرِى فَقَدْ أَطَاعَنِى ، وَمَنْ عَصَى أَمِيرِى فَقَدْ عَصَانِى
Barangsiapa yang mentaatiku maka dia telah mentaati Allah. Barangsiapa yang bermaksiat kepadaku maka ia telah bermaksiat kepada Allah. Barangsiapa yang mentaati pemimpin maka ia telah mentaatiku. Barangsiapa yang bermaksiat (enggan taat) kepada pemimpin maka ia telah bermaksiat kepadaku.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari ‘Auf bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ketahuilah, barangsiapa yang di bawah seorang pemimpin dan ia melihat padanya ada kemaksiatan kepada Allah, maka hendaklah ia membenci kemaksiatannya. Akan tetapi, janganlah (menjadikannya) melepaskan ketaatan kepada pemimpin tersebut.” (HR. Muslim)
Adapun semangat di atas sebab yang menghantarkan kepada persatuan dan saling memahami, maka balasannya di dunia dan di akhirat, dan AllahTa’ala yang Maha Mengetahui.
Dari Ubaidah bin Shamit radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang beribadah kepada Allah dengan tidak menyekutukanNya dengan sesuatupun, mendirikan shalat, menunaikan zakat, mendengar dan taat kepada pemimpinnya, maka ia akan masuk surga dari pintu mana saja yang ia inginkan dari delapan pintu surga.” (HR. Ahmad, Ibnu Abi Ashim dan At-Thobroni)
Aku memohon kepada Allah Yang Maha Mulia dan Maha Penyayang agar memberi kepada kita semua petunjuk di atas jalan yang lurus. Semoga Allah memperbaiki niat, amal, perkataan, keyakinan, keadaan, dan akhlaq kita beserta keluarga, keturunan, cucu-cucu kita dengan penuh ampunan. Demikian juga saya memohon kepadaNya agar kita mendapatkan manfaat dan faedah dari apa yang telah kita dengar dan kita bicarakan (nasihat di atas), dan juga memberikan kita ilmu yang bermanfaat dan memberikan kita rasa saling memaafkan dengan penuh kelembutan, rasa persatuan, tolong menolong, saling bahu-membahu, dan rasa kebersamaan, dan juga menghindarkan kita dari kemarahan dan kebodohan.
Aku memohon kepada Allah Ta’ala agar menjaga ulama-ulama kita dan para pemimpin muslimin kita. Aamiiin.
Segala puji bagi Allah Ta’ala dan shalawat serta salam kepada nabi Muhammad yang tiada nabi sesudahnya, dan kepada keluarganya serta sahabatnya.

Perbanyak silaturrahmi kunjung - mengunjungi "makan - makan bersama".


Oleh: Haji Moh. Ridwan 

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Sebagai istilah, kata silaturahmi sudah jamak digunakan. Akan tetapi, antara fakta dan maksud syar’i-nya berbeda. Lalu, bagaimana fakta dan maksud silaturahmi yang benar menurut syariah? Kapan dan bagaimana pula bentuk-bentuk silaturahmi yang diperintahkan?
Jawab:
Sebelum menjelaskan fakta silaturahmi, kita harus memahami fakta kerabat (aqârib) dalam pandangan Islam. Islam membedakan kerabat menjadi dua: Pertama, yang disebut dzawu al-irts (mereka yang berhak menjadi ahli waris). Kedua, yang disebutdzawu al-arham (mereka yang mempunyai hubungan mahram). Dalam Ilmu Faraidh, orang-orang yang masuk kategori dzawu al-irts ini juga disebut ashhâb al-furûdh (orang yang mendapat bagian waris) dan ‘ashabah (orang-orang yang mendapat bagian sisa). Dengan kata lain, dzawu al-‘irts adalah orang-orang yang mendapatkan bagian waris, sementara dzawu al-arhâm tidak.
Siapa dzawu al-arhâm ini? Mereka adalah sepuluh orang: paman dan bibi (saudara ibu), kakek seibu, cucu laki-laki dari anak perempuan, keponakan laki-laki dari saudara perempuan, keponakan perempuan dari saudara laki, saudara sepupu perempuan dari paman (saudara ayah), bibi (saudara ayah), paman (saudara ayah) seibu dan keponakan laki-laki dari saudara laki-laki seibu; termasuk keturunan dari mereka. Selain mereka, inilah yang disebut dzawu al-irts atau ashhâb al-furûdh dan ‘ashabah. Inilah fakta kerabat dalam pandangan Islam.
Dari fakta ini, Islam membedakan antara menjaga hubungan baik dengan dzawu al-arhâm dan menjaga hubungan baik dengan dzawul al-irts. Menjaga hubungan baik dengan dzawu al-arhâm inilah yang disebut silaturahmi (sillah ar-rahm). Adapun menjaga hubungan baik dengan dzawul al-irts tidak disebut sillah ar-rahm, melainkan sillah al-aqârib. Pertanyaannya, mengapa harus dibedakan? Karena hukumnya berbeda. Sillah ar-rahm ini hukumnya wajib dan memutuskannya haram. Adapun sillah al-aqârib hukumnya sunah.
Ini didasarkan pada riwayat, bahwa pernah ada seorang pria bertanya kepada Nabi saw.:
مَنْ أَبُرُّ؟ فَقَالَ لَهُ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أُمَّكَ وَأَبَاكَ وَأُخْتَكَ وَأَخَاكَ
“Siapakah yang harus saya perlakukan dengan baik?” Nabi saw. bersabda kepadanya, “Ibumu, bapakmu, saudara perempuan dan saudara lelakimu.” (HR at-Tirmidzi dan al-Hakim. Hadis ini disahihkan oleh al-Hakim dalam Al-Mustadrak).
Ada juga riwayat dari Asma’ binti Abi Bakar yang menyatakan:
قَدَمَتْ عَلَيَّ أُمِّي، وَهِيَ مُشْرِكَةٌ – فِيْ عَهْدِ قُرَيْشٍ إِذْ عَاهَدَهُمْ – فَاسْتَفْتَيْتُ النَّبِيَّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ: يَارَسُوْلَ اللهِ إِنَّ أُمِّي قَدَمَتْ عَلَيَّ – وَهِيَ رَاغِبَةٌ – أَفَأَصِلُهَا؟ قَالَ: نَعَمْ، صِلِيْ أُمَّكِ
Saya pernah didatangi oleh ibuku, sementara dia masih musyrik–pada zaman Quraisy, saat Nabi mengadakan perjanjian (Hudaibiyah) dengan mereka. Saya lalu bertanya kepada Nabi saw. “Ya Rasulullah, ibuku telah mendatangiku, sementara dia masih musyrik. Apakah saya boleh menjaga hubungan baik dengannya?” Nabi saw. menjawab, “Boleh. Jagalah hubungan baik dengan ibumu.” (HR al-Bukhari dan Muslim)
Hadis-hadis ini menjadi dalil tentang sillah al-‘aqâib (menjaga hubungan kekerabatan). Hadis ini tidak disertai dengan ancaman (wa’id), juga indikasi yang menjelaskan wajibnya menjaga hubungan tersebut. Karena konteks hadis tersebut adalah ketaatan kepada orangtua (birr), yang merupakan perintah syariah, maka ia bisa menjadi indikasi (qarînah) yang menguatkan (tarjîh) sehingga hukumnya sunah (mandub).
Ini berbeda dengan sillah ar-rahim yang hukumnya memang wajib, karena Nabi saw. menyatakan:
مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ، وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
Siapa saja yang ingin dilapangkan rezekinya dan dilanggengkan peninggalannya, hendaknya menyambung hubungan dengan kerabatnya (HR al-Bukhari dan Muslim).
Nabi saw. juga menyatakan:
لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعُ رَحِمٍ
Tidak akan masuk surga orang yang memutuskan hubungan kekerabatan (HR Muslim dan Abu Dawud).
Nabi saw. pun bersabda:
إنَّ أَعْمَالَ أُمَّتِيْ تُعْرَضُ عَشِيَّةَ الْخَمِيْسِ لَيْلَةَ الْجُمْعَةِ، فَلاَ يُقْبَلُ عَمَلُ قَاطِعِ رَحِمٍ
Sesungguhnya amal umatku akan diajukan (kepada Allah) pada petang hari Kamis, malam Jumat. Namun, amal orang yang memutuskan hubungan kekerabatan tidak akan diterima (oleh Allah).
Hadis-hadis ini menjelaskan sillah ar-rahm, yang disertai pujian (madh) sekaligus ancaman (wa’id) sehingga menjadi indikasi (qarinah), bahwa tuntutan tersebut merupakan tuntutan yang tegas (thalab jâzim); artinya hukumnya wajib. Jadi, silaturahmi hukumnya wajib, dan memutuskannya haram. Apalagi ada nash yang juga menunjukkan larangan memutuskan silaturahmi dengan larangan yang tegas.
Karena itu, silaturahmi konteksnya adalah menjaga hubungan baik dengan kerabat yang berstatus mahram (rahim mahram), seperti bibi dari ibu, dan bukan kerabat non-mahram(rahim ghayr mahram), seperti anak perempuan paman (saudara ayah). Konteks silaturahmi ini sebenarnya khusus untuk menjaga hubungan baik dengan rahim yangmahram, bukan rahim yang non-mahram. Karena itu, menjaga hubungan baik dengan anak perempuan paman (saudara ayah), dan anak perempuan paman (saudara ibu) hukumnya tidak wajib, karena mereka bukan mahram.
Mengenai dalil yang menyatakan hal di atas ada dua: Pertama, bahwa orang yang bukanmahram, haram hukumnya ber-khalwat dengannya; haram melihat, selain wajah dan kedua telapak tangannya; juga haram melakukan ikhtilâth dengannya. Padahal ini bertentangan dengan aktivitas silaturahmi; yaitu mengunjungi, memberi hadiah, bergaul (mukhâlathah) dan duduk bersama. Adanya perbedaan fakta silaturahmi dengan hubungan dengan orang yang bukan mahram-nya membuktikan, bahwa silaturahmi khusus untuk konteks rahim yang mahramKedua, Nabi saw. melarang menikahi wanita dengan bibi (saudara ayah)-nya, atau wanita dengan bibi (saudara ibu)-nya. Nabi saw. juga menjelaskan, bahwa menikahi wanita dengan bibinya dianggap memutuskan hubungan kekerabatan. Ini membuktikan, bahwa rahim adalah siapa saja yang tidak boleh dinikahi.
Dengan demikian, istilah silaturahmi digunakan oleh syariah Islam untuk menyebut aktivitas menjaga hubungan baik dengan kerabat yang berstatus mahram, bukan yang lain. Hukum wajibnya silaturahmi dan haramnya memutuskannya juga hanya berlaku dalam konteks menjaga hubungan baik dengan mereka.
Adapun bentuk-bentuk aktivitas silaturahmi itu bisa bermacam-macam, antara lain kunjungan pada Hari Raya; momen-momen penting, seperti pernikahan, kelahiran, khitanan dan sebagainya. Memberi hadiah pada kedua Hari Raya dan momen-momen penting tadi juga merupakan bentuk menjaga silaturahmi; termasuk membela mereka dan anak-anak mereka serta memenuhi kebutuhan dan hak-hak mereka. Dalam konteks ini, Nabi saw. bersabda:
الصَّدَقَةُ عَلَى الْمِسْكِيْنِ صَدَقَةٌ، وَعَلىَ ذِي الرَّحِمِ ثِنْتَانِ: صَدَقَةٌ وَصِلَةٌ
Sedekah kepada orang miskin itu bernilai satu, yaitu sedekah saja; sementara sedekah kepada kerabat itu ada dua: satu bernilai sedekah, kedua bernilai menjaga hubungan baik (sillah) (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan ad-Darimi).
Dengan kata lain, orang yang memberikan hadiah kepada kerabat yang berstatusmahram mendapatkan dua pahala: pahala sedekah tathawwu’ (sunnah) dan kedua pahala silaturahmi.
Sebaliknya, orang yang memutuskan silaturahmi adalah orang yang tidak mementingkan kerabatnya, juga orang yang tidak mau diperhatikan kerabatnya, baik dengan kunjungan, hadiah maupun yang lain. Jadi, orang yang memutuskan silaturahmi adalah orang yang menistakan kerabat, sekecil apapun bentuk penistaan tersebut. Itulah bentuk pemutusan silaturahmi. Kepada mereka, Nabi saw. mengancam:
لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعُ رَحِمٍ
Tidak akan masuk surga orang yang memutuskan hubungan kekerabatan (HR Muslim dan Abu Dawud).
Wallâhu a‘lam.